
HALTIM – Ratusan warga Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, gelar aksi penolakan di kantor perwakilan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) dipaksa bubar oleh aparat kepolisian.
Gufran Kahar, Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Maba, mengatakan warga menuntut penghentian seluruh kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan.
“Mendesak untuk dicabutnya izin usaha pertambangan PT STS, melakukan pemulihan atas Hak-Hak warga, masyarakat adat, dan lingkungan, serta bertanggung jawab atas penggusuran lahan kebun kelapa mereka di Dusun Memeli, Desa Pekaulang,” katanya.
Gufran bilang, sayangnya, mereka bukan mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan, warga justru dicegat oleh puluhan personel Polres Halmahera Timur yang dibackup oleh sekitar 20-30 anggota Brimob. Setelah terlibat adu mulut dan saling dorong dengan aparat kepolisian, sekitar pukul 16.00 WIT, petugas Brimob melepaskan tembakan gas air mata sebanyak 10 kali ke arah warga yang sedang berkumpul.

“Tembakan gas air mata ini diarahkan langsung kepada kerumunan warga tanpa adanya peringatan terlebih dahulu,” ungkapnya.
Gufran sebut atas insiden itu beberapa warga yang terlibat dalam aksi mengalami luka-luka akibat tembakan gas air mata. Mulyadi Palangi, misalnya, terkena tiga tembakan di bahu dan lengan atas, sementara Riski Boway terkena tembakan di kaki dan Sulandra Asri di jemari tangan.
“Tindakan ini juga menyebabkan trauma psikologis bagi ibu-ibu dan anak-anak yang ikut dalam aksi, yang sebelumnya belum pernah mengalami kekerasan seperti ini,” ucapnya.
Gufran ungkap kekerasan negara-korporasi atas warga dan ruang hidup ini, tak hanya berlangsung hari ini. Tapi, sebelumnya, pada Sabtu 26 April 2025, polisi juga merepresi warga Wayamli. Warga dipaksa pulang bahkan sebagian diborgol polisi, saat sedang berjaga di lokasi wilayah adat mereka yang telah digusur PT STS.
“Peristiwa ini, bermula ketika warga menerima informasi jika perusahaan tambang nikel PT STS telah kembali beroperasi di hutan—wilayah adat Qimalaha Wayamli. Lalu sekitar pukul 15.30 WIT terdapat sekitar 13 orang yang diutus warga Wayamli untuk naik ke lokasi guna melakukan pengecekan,” ceritanya.
Ironisnya, Polisi yang datang langsung meminta warga untuk pulang namun warga bersikeras bertahan untuk menjaga wilayah adat Qimalaha. Polisi lantas melakukan pemaksaan hingga sebagian warga harus borgol lalu dipulangkan.
Senada, Julfikar Sangaji Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, menambahkan rentetan kejadian ini menandakan betapa kejahatan struktural terhadap rakyat terus berlangsung, di mana polisi justru berfungsi sebagai alat kekuasaan bagi korporasi yang merusak lingkungan dan menggusur tanah adat. Polisi, yang seharusnya melindungi hak-hak warga, malah menggunakan kekuatan brutal untuk membungkam aspirasi mereka.
“Selain itu, elit lokal juga terkesan berdiam diri, membiarkan kejahatan ini terus berlanjut tanpa ada upaya nyata untuk menghentikan kekerasan terhadap rakyat,” tegasnya.
Julfikar mengecam keras brutalitas aparat tersebut dan menuntut pemerintah Kabupaten Haltim dan Provinsi Maluku Utara untuk segera menghentikan brutalitas aparat ini. Rakyat harus dilindungi dari kekerasan yang terus berulang.
“Kami juga mendesak agar perusahaan PT STS bertanggung jawab atas segala kerusakan yang telah mereka timbulkan dan menghentikan segala aktivitas pertambangan di tanah adat yang telah merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat,” pungkasnya.