HALUT – Sidang lanjutan perkara dugaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Nomor 24/Pid.Sus/2025/PN TOB, dengan terdakwa RZE alias Ronal yang merupakan anggota Polres Halmahera Utara, dan korban WAS alias Wulan, kembali digelar di Pengadilan Negeri Tobelo, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penutut Umum (JPU), Kamis, 3 Juli 2025.

Pembacaan tuntutan yang digelar di ruang sidang utama Prof.Dr. H.M. Hatta Ali, SH.MH berlangsung sekitar pukul 18.07 Wit. Namun, proses persidangan kali ini memunculkan kontroversi setelah JPU membacakan tuntutan pidana hanya satu (1) tahun penjara dengan dikurangi masa penahanan, yang dianggap tidak sesuai dengan perbuatan terdakwa.

Dalam surat dakwaan tersebut, JPU mendakwa dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) terkait dengan kekerasan fisik dalam rumah tangga, junto Pasal 354 KUHP, terkait penganiayaan berat yang ancaman hukumanya 8 (delapan) tahun penjara.

Setelah pembacaan surat dakwaan oleh JPU, Ketua Majelis Hakim sempat menegaskan kembali kepada terdakwa dan penasehat hukumnya, bahwa pasal yang didakwakan ini terkait dengan penganiayaan berat yang ancaman hukumanya sepuluh tahun penjara.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi Fahrizal Dirhan, menilai tuntutan jaksa tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, dan sangat tidak berpihak terhadap korban.

“Kami sangat menyesalkan tuntutan JPU yang tidak berpihak kepada korban,” ujar Fahrizal.

Terpisah, Akademisi Universitas Khairun Ternate (Unkhair), Astuti N Kiliwou, juga memberi tanggapan atas tuntutan tersebut. Ia menyebut bahwa jaksa harus menggunakan hukuman maksimal, apalagi kasus ini melibatkan aparat penegak hukum yang terdakwanya adalah anggota Polres Halmahera Utara, harusnya kasus ini bisa jadi preseden untuk kasus-kasus yang serupa.

“Kalau misalnya, katakanlah ada masyarakat yang menjadi ‘pelaku’ dalam perkara seperti ini, lalu kemudian mendapatkan tuntutan yang lebih dari ini, kan sangat tidak etis,” tegas Astuti.

Menurut Astuti, KDRT dalam hukum pidana bukanlah kasus yang tergolong tindak pidana ringan (Tipiring). Hukum selain memberikan keadailan bagi korban, selebihnya adalah untuk memberikan efek jera terhadap terduga pelaku, sekaligus pembelajaran buat masyarakat.

Astuti menegaskan, tuntutan JPU terhadap terdakwa KDRT mencerminkan wajah penegak hukum yang masih bias gender dan tidak berprespektif korban. Tuntutan yang terlalu ringan tak hanya tidak terpenuhinya unsur keadilan bagi korban, tapi juga tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan edukasi publik yang buruk.

“Bagi saya tuntutan tersebut menegaskan posisi penegakan hukum di Indonesia berwajah maskulin,” tambahnya.

Seharusnya trauma fisik dan psikis yang dialami korban sepanjang hidupnya yang menjadi tolak ukur untuk menjerat pelaku dengan hukuman maksimal.

Kekerasan dalam rumah tangga sering dibungkam hari ini, hukum ikut membungkamnya lewat tuntutan yang terlalu ringan dan tidak proporsional dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa terhadap korban KDRT. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan keraguan terhadap komitmen Jaksa Penuntut Umum Kejari Halmahera Utara dalam menegakkan keadilan.

Selain itu, sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembelaan (pledoi) dari kuasa hukum terdakwa pada pekan depan. Publik kini menantikan apakah majelis hakim akan mempertimbangkan keseluruhan fakta hukum dan memberikan putusan yang berkeadilan atau tidak.

Penulis : Muajmin Soa Bobo

Bagikan: