
Oleh: Samsudin Wahab Genvyr*
Akhir-akhir ini kita diperhadapkan dengan berbagai macam isu. Mulai dari isu lingkungan, HAM, sosial, politik, ekonomi hingga statement publik figur yang membuat rakyat gusar.
Isu lingkungan belakangan ini cukup memprihatinkan. Pencemaran lingkungan adalah hal yang tak terelakkan dari adanya aktivitas pertambangan karena adanya pembukaan hutan besar-besaran dan luapan asap tebal dari cerobong perusahaan. Belum lagi penemuan baru-baru ini yang sempat menggegerkan yaitu ditemukannya logam berat di tubuh ikan dan darah manusia di Halmahera Tengah.
Isu HAM kerap muncul di daerah-daerah pertambangan. Kriminalisasi masyarakat yang bersuara menentang perusahaan sering berakhir di meja persidangan. Penetapan 11 warga Halmahera Timur sebagai tersangka baru-baru ini mencuat banyak kontroversi. Tidak hanya di Halmahera Timur, Di tempat-tempat lain yang ada perusahaan pertambangan masalah ini juga sering muncul.
Konflik sosial juga kerap muncul di daerah pertambangan. Seperti yang terjadi di Weda Halmahera Timur. Konflik SARA sering muncul karena pencampuran berbagai etnis yang datang bekerja di daerah perusahaan. Orang mungkin menganggap enteng bahwa itu terjadi hanya karena minimnya rasa toleransi. Masalahnya, toleransi adalah isu yang melek di kalangan intelektual atau orang-orang pintar. Sementara di kalangan masyarakat bawah isu toleransi hanya dikenal di permukaan.
Konflik sosial juga muncul di masyarakat pertambangan di mana konflik perbedaan kepentingan yang muncul di antara orang-orang yang menerima tambang dan orang-orang yang menolak tambang; seperti yang terjadi baru-baru ini di Halmahera Timur, dimana pemerintah desa mengklaim gerakan protes kepada P.T Position, yang mewakili masyarakat adat dianggap justru didasari oleh kepentingan tertentu.
Politik bukan hanya soal proses pelaksanaan pemilihan umum yang diselenggarakan lima tahun sekali. Politik bukan hanya alat yang digunakan oleh para politisi dan pejabat untuk menegakkan kebijakan. Politik lebih dari itu adalah alat perjuangan yang memungkinkan masyarakat bawah untuk meng-counter kebijakan dari kekuasaan yang dinilai berseberangan dengan kepentingan masyarakat. Namun ironisnya, suara-suara masyarakat terkadang hanyalah langkah-langkah dan teriakan yang tidak mengubah apa-apa. Di mata kekuasaan, politik seolah hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan. Lagi-lagi kita kembali ke gerakan-gerakan masyarakat yang menolak pertambangan yang justru tidak digubris sama sekali oleh pemerintah. Bagi pemerintah, suara-suara masyarakat tidak berarti apa-apa karena masyarakat bukan pengendali alat politik.
Pemerintah beberapa tahun ini menjadikan industri ekstraktif sebagai tulang punggung perekonomian negara. Pemerintah berharap dengan membuka pertambangan maka akan mengurangi jumlah pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, siapa yang diuntungkan dari industri pertambangan masih belum jelas titik terangnya. Apakah masyarakat yang diuntungkan, sementara dampak lingkungan yang berkepanjangan akan dialami oleh masyarakat lokal itu sendiri, atau…. segelintir orang yang menanam saham dan memperkaya diri sendiri?
Pemerintah mungkin luput bahwa saat ini dunia sedang digencarkan oleh masalah yang sama yaitu krisis iklim. Masalah itu datang dari perilaku manusia yang abai terhadap kepentingan lingkungan.
Keprihatinan terhadap masalah lingkungan bukan dimulai baru-baru ini. Keprihatinan dunia terhadap lingkungan sudah dimulai sejak tahun 1972, pada saat konferensi Stockholm dan kemudian berlanjut dengan diformulasikannya strategi pembangunan berwawasan lingkungan dan terlanjutkan (environmentally sound and sustainable development) oleh koalisi dunia bagi lingkungan dan pembangunan tahun 1987 yang kemudian dikenal dengan sebutan laporan komisi “Brundtland”. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bumi (Earth Summit) yang dilaksanakan di Rio, Brazil pada bulan Juni 1992─dua puluh tahun sejak konferensi Stockholm dengan menghasilkan berbagai rekomendasi melalui “Agenda 21”.
Agenda 21 membahas tentang pentingnya pendidikan lingkungan, kesadaran masyarakat umum (public awareness) dan pelatihan. Salah satu program dan tujuan aksi ini adalah meningkatkan kesadaran publik secara luas sebagai suatu bagian dari upaya pendidikan global dalam rangka memperkuat sikap, nilai-nilai dan aksi.
Dampak pertambangan juga menimbulkan reaksi dunia. Salah satunya, kesadaran dampak buruk merkuri yang membahayakan kesehatan lingkungan hidup dan organisme lainnya khususnya peristiwa yang terjadi di Minamata, Jepang, sehingga mendorong dibentuknya konvensi Minamata tentang merkuri pada tahun 2013 yang diinisiasi oleh The United Nation Environmental Programme (UNEP)─sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi isu lingkungan─kemudian mengadakan konferensi yang dihadiri oleh wakil-wakil Intergovernmental Negotiating Committee (INC) dari masing-masing negara untuk mendiskusikan dan menegosiasikan persetujuan global tentang merkuri. Konferensi tersebut menghasilkan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata tentang merkuri) yang ditandatangani oleh 128 negara, termasuk Indonesia dan Uni Eropa.
Statement dari ketua PBNU di Kompas TV baru-baru ini menuai banyak kritikan dari masyarakat. Bagaimana tidak, sosok Gus Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU) yang dikenal sebagai sosok yang berpengaruh di mata publik namun mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan sangat mengikuti logika dan bahasa kekuasaan. Statement Gus Ulil Abshar Abdalla bahwa “Saya mencintai lingkungan namun saya tidak membenarkan kalau industri pertambangan dilarang”. Ucapan ini secara logic bisa setara dengan “Saya mencintai anda namun saya akan mendukung apabila ada yang menyakiti anda”─Kontradiksi dalam dirinya sendiri─Self-contradictory.
Statement Gus Ulil Abshar yang lain adalah “Mengapa anda begitu peduli untuk mengembalikan ekosistem seperti semula?”. Apakah Gus Ulil Abshar Abdalla tau atau tidak kalau di sebagian tempat, kerusakan lingkungan justru menjadi masalah yang paling serius. Seperti munculnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU, atau tercemarnya air dan udara hingga hilangnya keseimbangan ekosistem itu sendiri.
Saya rasa sosok sekelas Gus Ulil Abshar pasti tahu dan sadar bahwa Industri pertambangan memiliki dampak yang sangat negatif bagi kesehatan lingkungan. Baik manusia maupun ekosistem hewan dan tumbuhan. Namun, terlalu di atas seseorang berdiri, ia kadang tidak mampu melihat dengan jelas apa yang ada dibawahnya. Untuk menilainya, silahkan teman-teman simak sendiri di kompas TV yang tayang beberapa hari lalu.