
Penulis : Mochdar Soleman, S.IP., M.Si*
Papua dan Maluku Utara, dua wilayah yang dikenal kaya akan sumber daya mineral, kini menjadi sorotan dalam diskusi tentang keberlanjutan dan keadilan lingkungan. Aktivitas pertambangan di kedua wilayah ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, namun harga yang harus dibayar oleh lingkungan dan masyarakat lokal tidaklah kecil.
Sebagaimana laporan yang dirilis Greenpeace (2022) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat kerusakan lingkungan akibat tambang tertinggi di Asia Tenggara. Dan oleh karena itu, kerusakan lingkungan akibat tambang adalah bukti dari kegagalan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang pro ekonomi tetapi lalai terhadap ekologi. Pemerintah sering kali memberikan prioritas kepada kepentingan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Dalam konteks ini, tuntutan keadilan ekologi di Papua dan Maluku Utara menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat tidak dikorbankan demi keuntungan korporasi.
Sehingga kita memerlukan ketegasan akan pentingnya keadilan ekologi sebagai respons atas krisis yang bersifat multidimensional. Tentunya ini bukan hanya sekadar konsep pelestarian lingkungan saja, melainkan keadilan ekologi menuntut perlindungan terhadap hak masyarakat lokal yang terkena dampak.
Potret Pertambangan di Papua
Luas Lahan dan Komoditas Utama Papua
Papua adalah rumah bagi sumber daya mineral yang melimpah, termasuk tembaga, emas, dan pasir besi. Tambang nikel di Kota Jayapura mencakup lebih dari 100.000 hektar, sementara tambang pasir besi di Kabupaten Sarmi mencakup 98.805 hektar. PT Freeport Indonesia, salah satu perusahaan terbesar di dunia, menguasai konsesi awal seluas 100 km² sejak 1967, yang terus berkembang hingga mencakup wilayah Kabupaten Mimika dan Puncak Jaya (JATAM, 2022).
Luas Lahan dan Komoditas Utama Maluku Utara
Pertambangan nikel di Maluku Utara telah menguasai lahan yang sangat luas. Di Halmahera Tengah, konsesi tambang mencakup 156.197,04 hektar, sementara di Pulau Obi terdapat lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan total luas mencapai 10.769,53 hektar. Aktivitas ini berdampak signifikan terhadap hutan dan ekosistem di sekitarnya. Dalam 15 tahun terakhir, Halmahera Tengah telah kehilangan 16.000 hektar hutan akibat aktivitas pertambangan, dengan rata-rata deforestasi mencapai 1.000 hektar per tahun (Saputra et al., 2023; WALHI, 2022).
Perusahaan yang Terlibat di Papua
Hingga 2015, sebanyak 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah diterbitkan di Papua, meliputi daerah seperti Mimika, Intan Jaya, dan Jayapura. Meski perusahaan besar seperti Freeport mendominasi, aktivitas tambang ilegal juga dilaporkan terjadi di beberapa wilayah. Sayangnya, data spesifik tentang aktivitas tambang ilegal ini masih membutuhkan validasi lebih lanjut (Greenpeace, 2022).
Perusahaan yang Terlibat di Maluku Utara
Di Halmahera Tengah, kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) menjadi pusat kegiatan hilirisasi nikel. Proyek ini melibatkan konsorsium perusahaan seperti PT Weda Bay Nickel (WBN), yang merupakan kerja sama antara Eramet (Perancis), Mitsubishi (Jepang), dan PT Antam. Di Pulau Obi, perusahaan besar lainnya mendominasi, namun data rinci tentang keterlibatan mereka masih terbatas (Saputra et al., 2023; Nexus3, 2024).
Pertambangan : Konsesi yang Luas dan Kerusakan yang Mendalam
Dampak Lingkungan dan Sosial di Papua
Limbah tambang PT Freeport mengandung logam berat seperti arsenik dan merkuri, yang mencemari daerah aliran sungai (DAS) Papua. Ekosistem sungai yang rusak berdampak langsung pada kehidupan masyarakat adat seperti suku Amungme dan Kamoro, yang terpaksa meninggalkan tanah leluhur mereka akibat pencemaran dan alih fungsi lahan (JATAM, 2022). Degradasi ekosistem juga memicu konflik sosial antara masyarakat adat dengan pemerintah dan perusahaan tambang.
Dampak Lingkungan dan Sosial di Maluku Utara
Kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Maluku Utara sangat signifikan. Pencemaran air oleh senyawa merkuri dan arsenik telah terdeteksi di ikan, sementara kromium heksavalen ditemukan di air sungai dengan konsentrasi melebihi baku mutu. Pencemaran laut akibat sedimentasi dan limbah ore nikel mengakibatkan kerusakan terumbu karang serta menurunkan hasil tangkapan ikan nelayan (Nexus3, 2024; WALHI, 2022).
Udara di sekitar kawasan industri IWIP menunjukkan konsentrasi partikulat yang tinggi akibat aktivitas industri dan lalu lintas kendaraan berat. Hal ini meningkatkan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di masyarakat sekitar, dari 300 kasus per tahun menjadi 800-1.000 kasus sejak kawasan industri ini beroperasi (Saputra et al., 2023).
Dampak sosial juga dirasakan secara langsung. Di Desa Kawasi, Pulau Obi, warga kehilangan sumber mata air akibat ekspansi tambang. Sungai Toduku yang sebelumnya menjadi sumber air bersih kini tercemar, memaksa warga bergantung pada air kemasan untuk kebutuhan sehari-hari (WALHI, 2022). Konflik tenurial antara perusahaan tambang dan masyarakat adat menjadi isu yang kerap muncul, terutama terkait kompensasi lahan yang dianggap tidak memadai (Saputra et al., 2023).
Konsepsi Ekonomi vs Keberlanjutan
Kontribusi Ekonomi yang Tidak Setara
Eksploitasi tambang di Papua dan Maluku Utara memang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan nasional. Pajak dan royalti dari perusahaan tambang seperti Freeport, Eramet, dan PT Antam memberikan sumbangan signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, manfaat ekonomi ini sering kali tidak dirasakan secara merata oleh masyarakat lokal. Infrastruktur yang dibangun oleh perusahaan tambang cenderung berorientasi pada kebutuhan operasional mereka, bukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar.
Dalam pendekatan teori otonomi relatif yang dikemukakan oleh Erwiza Erman (2010), ketimpangan distribusi manfaat ini mencerminkan lemahnya kemandirian lokal dalam mengelola sumber daya alam. Pemerintah lokal sering kali berada dalam posisi subordinat terhadap perusahaan besar, sehingga tidak mampu mengoptimalkan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat setempat.
Degradasi Lingkungan yang Tak Terkendali
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas tambang menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum mampu mengendalikan dampak buruknya. Pencemaran air, udara, dan tanah di Papua dan Maluku Utara adalah bukti nyata dari kurangnya pengawasan terhadap praktik pertambangan. Hal ini diperparah dengan minimnya implementasi sanksi bagi perusahaan yang melanggar aturan lingkungan.
Menurut teori ekosentrisme (Goodin, 1992), pengelolaan lingkungan yang hanya berorientasi pada eksploitasi ekonomi tanpa mempertimbangkan nilai intrinsik alam merupakan akar masalah. Dalam konteks Papua dan Maluku Utara, perlindungan terhadap ekosistem harus menjadi prioritas utama untuk menjaga keberlanjutan jangka panjang.
Konflik Sosial yang Kian Kompleks
Konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambang mencerminkan ketidakseimbangan kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat adat sering kali kehilangan hak atas tanah mereka tanpa mendapat kompensasi yang adil. Selain itu, kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan memperburuk situasi ini.
Konsep demokrasi ekologis yang diusulkan oleh Pickering et al. (2018) menekankan pentingnya inklusi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks Papua dan Maluku Utara, penerapan demokrasi ekologis dapat menjadi solusi untuk mengurangi konflik sosial dan memastikan bahwa kepentingan masyarakat lokal diakomodasi secara adil.
Bagaimana tanggung Jawab pemerintah?
Peran dan Tanggungjawab pemerintah sangatlah besar dalam memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, khususnya di sektor pertambangan, dimana pemerintah harus memperkuat pengawasan terhadap perusahaan tambang, terutama dalam hal pengelolaan limbah dan rehabilitasi lahan pasca tambang. Oleh karena itu, sanksi tegas perlu diterapkan kepada perusahaan yang melanggar aturan lingkungan. Dan dengan penerapan teknologi pengawasan berbasis satelit dapat menjadi solusi untuk memantau aktivitas tambang secara real time.
Tentunya, tanggungjawab ini tidak dipikul sendiri oleh pemerintah, melainkan melibatkan partisipasi masyarakat lokal, terutama komunitas adat, dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait tambang harus ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah melalui forum konsultasi publik yang transparan dan inklusif. Dengan demikian, masyarakat adat juga perlu dibekali dengan program pelatihan dan edukasi agar mereka memiliki kapasitas untuk mengadvokasi kepentingan mereka sendiri.
Dan oleh karena itu, pemerintah wajib untuk memastikan bahwa perusahaan tambang harus menggunakan teknologi yang ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif aktivitas mereka. Sehingga manfaat ekonomi dari aktivitas tambang dapat didistribusikan secara adil kepada masyarakat lokal. Selain itu, pemerintah dan perusahaan tambang harus memastikan bahwa royalti dan pajak yang dihasilkan digunakan untuk membangun infrastruktur yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan air bersih.
Sumber:
1. Erman, E. (2010). Otonomi Relatif dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
2. Greenpeace. (2022). Keadaan Lingkungan Global.
3. JATAM. (2022). Laporan Kerusakan Tambang di Indonesia.
4. Nexus3. (2024). Dampak Lanjutan dari Aktivitas Industri Nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara, Indonesia.
5. Saputra, A. R., Faliana, C., & Durahman, M . A. (2023). Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel. Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).
6. WALHI. (2022). Tolak Investasi Nikel: Dampak Sosial dan Lingkungan di Maluku Utara dan Wilayah Lainnya di Indonesia.
7. Goodin, R. E. (1992). Green Political Theory. Polity Press.
8. Pickering, J., et al. (2018). “Democracy and the Environment.” Environmental Politics, 27(5)
Penulis adalah Sekjen Gerakan Pemuda Nuku, Dosen dan Pengamat Politik Lingkungan Universitas Nasional.