
Sebuah diskusi publik yang bertemakan “Selayang pandang konsep Gugus Pulau DOB Makayoa Kepulauan” digelar secara online oleh Forum Koordinasi Daerah Pembentukan Kabupaten Makayoa Kepulauan, diskusi perdana ini mewacanakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Makayoa di Provinsi Maluku Utara kembali mengemuka dalam diskursus publik. Di saat adanya jeda kebijakan moratorium yang ditempuh oleh pemerintah pusat, mengalir aspirasi masyarakat di wilayah selatan Maluku Utara, ini adalah pengingat (notifikasi) masih tersisanya problem dalam pemerataan pembangunan dan minimnya akses terhadap layanan dasar di daerah kepulauan masih menjadi pekerjaan besar yang tertunda dalam tata kelola negara.
Dalam diskusi tersebut mengemuka bahwa keinginan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Makayoa Kepulauan di Maluku Utara adalah refleksi dari kebutuhan mendasar akan keadilan pembangunan bukan sekadar aspirasi yang bersifat administratif. Gugus pulau yang diberi akronim Makayoa (Makean-Kayoa) sejauh ini mengalami keterbatasan dalam pembangunan infrastruktur, akses terhadap layanan publik dan keterlibatan dalam penentuan kebijakan daerah. Kondisi geografis yang tersebar di kawasan pulau-pulau menyebabkan kawasan ini termarginalkan secara struktural dalam distribusi sumber-sumber pembangunan.
Fakta ini sebagai tanda gagalnya pendekatan otonomi daerah yang selama ini terlampau seragam. Implementasi dari konsep desentralisasi sejauh ini dilakasanakan dengan kecenderungan berorientasi pada daratan, sehingga logika konektifitas dan jarak rasanya tidak relevan untuk daerah kepulauan. Kesemuanya itu berakibat pada daerah kepulauan seperti Makayoa kerap menjadi terpinggirkan. Disparitas ini tidak sekadar angka statistik, melainkan dialami secara lansung oleh masyrakat yang terjelmakan dalam bentuk biaya transportasi antar pulau yang mahal, kualitas pendidikan yang masih rendah, demikian halnya dengan layanan kesehatan yang minim.
Pada tataran ini, DOB Makayoa Kepulauan menjadi urgen sebagai model koreksi terhadap implementasi desentralisasi yang abai dalam mengakomodir kompleksitasnya wilayah kepulauan. Bukan hanya tuntutan pemekaran an sich, lebih dari itu menjadi bagian dari pencarian formulasi yang memenuhi rasa keadilan dan efektifitas dalam tata kelola negara. Pada titik inilah desentralisasi asimetris sebagai sebuah konsensus bernegara menemukan jalan tengah yang relevan antara keberagaman geografis dan keseragaman regulasi.

Jalan Keluar
Secara konseptual, desentralisasi asimetris tidak lain adalah bentuk pelimpahan kewenangan yang tidak seragam kepada daerah, yang didasarkan pada karakteristik khusus yang dimiliki setiap wilayah. Sebagaimana dikemukakan oleh (Suksi, 2022), asimetri dalam konteks otonomi daerah tidak hanya sah dari aspek konstitusionalitasnya, akan tetapi juga diperlukan dalam mengakomodair kebutuhan khas lainnya seperti daerah perbatasan dan kepulauan, maupun adat istiadat yang hidup didalamnya. Dalam konteks ini, DOB Makayoa Kepulauan bisa pula menjadi pilot project dari implementasi desentralisasi asimetris dengan berbasis geografis.
Sedikit berbeda dari DOB Pada umumnya, DOB Makayoa Kepulauan mestinya tidak hanya diukur dari indikator administarasi seperti jumlah penduduk, jumlah kecamatan, ketersediaan infrastruktur atau adminstratif lainnya. Kriteria berupa kerentanan secara geografis dan aksesibiltas mesti menjadi prioritas. Sebagaimana keinginan untuk membangun dari pinggiran, maka ukuran pinggiran bukanlah garis lurus dalam peta, akan tetapi mesti ditakar oleh besarnya hambatan struktural yang dihadapi masyarakat kepulauan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Dengan diimplementasikan format asimetris, DOB Makayoa Kepulauan dapat diberikan kewenangan secara khusus dalam tata kelola sumberdaya pesisir, manajemen konektifitas antarpulau, demikian pula dengan proporsionalitas dalam alokasi transfer daerah. Hal ini setidaknya berkaitan dengan prinsip keadilan distributif yang berorientasi pada kesetaraan hasil. Sebagaimana oleh (Krishnamohan, 2015), menyatakan bahwa desentralisasi harus responsif dalam mengakomodasi keragaman model pemerintahan untuk dapat menjawab kompleksitasnya kebutuhan warga negara.
Prospek Ekonomi
Selain aspek kelembagaan, DOB Makayoa Kepulauan selama ini memiliki potensi dan propek ekonomi yang belum berkembang oleh kebijakan pemerintahan yang kurang adaptif. Besarnya potensi ekonoi maritim, selama ini belum tergarap secara optimal. Potensi laut berupa ikan, Pariwisata bahari (pesona keindahan bawah laut dan kearifan masyarakat), dan juga komoditas maritim lainnya menjadi sumber utama mata pencarian masyarakat. Minimnya dukungan infrastruktur pendukung yang layak dan produk regulasi daerah yang tepat, berdampak pada makin sulitnya potensi ini dikembangkan sebagai kekuatan ekonomi yang signifikan. Absennya pemerintahan yang responsif dan dekat, berakibat pada pengembangan potensi ini akan sulit diwujudkan.
Dalam kerangka desentralisasi asimetris, pemekaran wilayah menciptakan ruang bagi inovasi kebijakan yang relevan dengan potensi dan tantagan lokal yang dihadapi. Ambil contoh, Makayoa kepulauan dapat mempostulasi skema fiskal yang basisnya adalah sumberdaya pesisir yang berefek langsung pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Prinsipnya pembentukan DOB Makayoa Kepulauan bakal menjadi katalis dalam optimalisasi sejumlah potensi yang tersembunyi tersebut. Dengan pemerintahan yang lebih responsif dan dekat, formulasi kebijakan pembangunan lebih adaptable dengan kebutuhan maupun karakteristik masyarakat kepulauan.
Keadilan bernegara
Pembentukan DOB Makayoa Kepulauan ini seyogianya tidak direspons dengan skeptisisme birokratis semata. Alasan moratorium pemekaran oleh pemerintah pusat mestinya tidak dijadikan dalih untuk menunda hak mendapatkan keadilan yang sama dan sudah lama tertahan. Pemerintah pusat mestinya merelaksasi kanal untuk melakukan evaluasi terbuka dan objektif bagi daerah kepulauan yang memang memiliki posisi dan justifikasi yang kuat untuk menjadi daerah otonom baru.
Saatnya negara ini membutuhkan kerangka kebijakan yang melegitimasi keanekaragaman kondisi lokal, dengan tidak menstandarkan semuanya dalam satu model otonomi. Desentralisasi asimetris adalah pilihan tepat tata kelola negara dalam menghormati keragaman geografis sekaligus menjawab tantangan utama dalam efektivitas tata kelola pemerintahan. Maka, kebijkan untuk memberi ruang pada wilayah seperti Makayoa merupakan salah satu langkah penting dalam penyempurnaan sistem desentralisasi nasional.
Pada akhirnya, Pembentukan DOB Makayoa Kepulauan bukan sekadar memebuhi proyek pemekaran. Ia tidak lain adalah cermin dari lambannya negara dalam merespons dan mengakui adanya realitas pinggiran. Dalam pada itu, refleksi keadilan akan terpantul paling jernih—jika kita bersedia melihatnya. Semoga.
Penulis Opini: Nurdin I, Muhammad Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unkhair dan Direktur eLkasped Maluku Utara